Tabrak MD ,Terpental hingga 42 Meter, Wanita Mabuk Tanpa SIM Hanya Dituntut 5 Bulan Penjara

Surabaya, Lintas Hukrim
( 29/4/25 )Sidang perkara kecelakaan maut yang menewaskan seorang pengatur lalu lintas swadaya (pak ogah) bernama Mudji Tahit (59) kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (29/4). Dalam sidang terbuka itu, Jaksa Penuntut Umum Hajita dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak membacakan tuntutan terhadap terdakwa Melania Safitri (24) yang mengemudi dalam keadaan mabuk dan tanpa SIM.
Jaksa menyatakan bahwa Melania Safitri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 311 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam dakwaan tersebut, terdakwa didakwa karena dengan sengaja mengemudi secara membahayakan hingga menyebabkan kecelakaan dan mengakibatkan korban jiwa.
“Menjatuhkan pidana penjara selama lima bulan kepada terdakwa Melania Safitri,” ucap JPU
Selain pidana badan, jaksa juga mengatur pengembalian sejumlah barang bukti. Satu unit mobil Honda HRV nopol L 1070 DAW beserta STNK atas nama Melania Safitri dikembalikan kepada terdakwa. Sementara satu unit sepeda pancal merk Phonix warna pink milik korban dikembalikan kepada ahli waris Mudji Tahit, yakni saksi Siswo Harpeni.
Perkara ini bermula dari kecelakaan yang terjadi pada Rabu, 1 Januari 2025 sekitar pukul 03.00 WIB di Jalan Kedung Cowek, tepat di depan toko JS Sticker, Kecamatan Bulak, Surabaya. Melania yang baru keluar dari tempat hiburan malam H.W. Tiger mengemudi mobil Honda HRV dalam kondisi mabuk setelah mengonsumsi minuman keras bermerk Singleton. Ia juga diketahui tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Saat melintas di jalur cepat, Melania menabrak korban Mudji Tahit yang sedang mengayuh sepeda di area zebra cross. Korban terpental sejauh 42 meter dan tewas di tempat kejadian. Mobil yang dikemudikan Melania baru berhenti setelah menabrak trotoar.
Hasil visum dari RSUD Dr. Soetomo menunjukkan korban mengalami luka berat berupa patah tulang, memar, lecet, serta tanda mati lemas akibat benturan keras.
Putra korban, Siswo Harpeni, mengatakan bahwa ayahnya baru saja pulang dari warung kopi menuju rumah kos di kawasan Kedinding Lor saat ditabrak dari belakang oleh mobil Melania.
Tuntutan lima bulan penjara terhadap terdakwa menuai pertanyaan, terutama karena unsur pemberat cukup jelas: mengemudi dalam keadaan mabuk, tanpa SIM, serta mengakibatkan kematian. Dalam praktik hukum pidana, perdamaian antara pelaku dan keluarga korban memang dapat menjadi pertimbangan meringankan (hal yang meringankan atau verschoningsgrond). Namun, hal itu tidak serta-merta menghapuskan pidana, terutama dalam perkara yang mengandung unsur kelalaian berat atau kesengajaan yang berakibat fatal.
Dalam kasus Melania, faktor mabuk dan tidak memiliki SIM bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi mengindikasikan pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum lalu lintas. Pasal 311 Ayat (5) UU LLAJ mengatur ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara jika pengemudi dengan sengaja membahayakan nyawa orang lain hingga menyebabkan kematian.
Pandangan ahli hukum menilai bahwa dalam perkara seperti ini, perdamaian tetap harus ditempatkan sebagai pertimbangan sekunder, bukan alasan utama untuk menurunkan tuntutan. Publik pun berhak bertanya, apakah lima bulan penjara mencerminkan rasa keadilan bagi korban?
Usai sidang, awak media sempat mengonfirmasi Jaksa Penuntut Umum mengenai dasar pertimbangan tuntutan ringan terhadap terdakwa.
“Apa pertimbangan utama Jaksa dalam menuntut terdakwa Melania Safitri hanya 5 bulan penjara, padahal unsur mengemudi dalam keadaan mabuk dan tanpa SIM semestinya menjadi pemberat karena menyebabkan kematian?”
JPU Hajita menjawab singkat:
“Sudah ada perdamaian mas”
Agenda sidang selanjutnya dijadwalkan untuk pembacaan putusan.