Hukum & Kriminal

Sidang Mulia Wiryanto: Saksi Tegaskan Keberadaan PT KSR, Ahli Bedah Perbedaan Pidana dan Perdata

Surabaya, LintasHukrim – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menggelar sidang kasus dugaan penipuan dalam kerja sama jual beli gula dengan terdakwa Mulia Wiryanto, Kamis (26/3/2025). Sidang ini menghadirkan saksi-saksi yang bekerja di PT KSR, perusahaan milik terdakwa, serta dua ahli hukum yang menjelaskan perbedaan antara ranah pidana dan perdata dalam kasus ini.

Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Djuanto, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Damang dari Kejaksaan Negeri Surabaya. Fokus utama dalam persidangan kali ini adalah membuktikan keberadaan PT KSR sebagai perusahaan resmi serta menentukan apakah perkara ini merupakan kasus pidana atau seharusnya diselesaikan secara perdata.

Dalam persidangan, P. Teguh, kepala gudang PT KSR, memberikan kesaksian bahwa perusahaan tersebut benar-benar ada dan aktif menjalankan usaha di bidang perdagangan gula.

“Saya bekerja di PT KSR sejak tahun 2017. Perusahaan ini memiliki kantor, gudang, dan papan nama resmi. Kami menjalankan bisnis jual beli gula dengan berbagai pelanggan, termasuk PT CBS,” ujar Teguh di hadapan majelis hakim.

Teguh juga menjelaskan bahwa PT KSR memiliki lebih dari 30 karyawan, termasuk bagian administrasi yang menangani pembayaran dan pencatatan transaksi.

“Saya bertugas mengatur pengiriman dan memastikan barang datang sesuai pesanan. Jika gula datang dari pabrik, kami menerima dengan surat jalan resmi, lalu bagian administrasi yang mencatatnya,” jelasnya.

Saksi lainnya, Sulis, yang telah bekerja dengan terdakwa selama lebih dari 20 tahun, juga menegaskan bahwa bisnis terdakwa memang nyata dan berjalan sebagaimana mestinya.
“Pak Mulia memang memiliki usaha dagang gula. Barang diambil dari pabrik-pabrik di Lamongan dan Malang, lalu dijual ke berbagai toko maupun distributor besar,” ungkap Sulis.
Kesaksian ini memperkuat fakta bahwa PT KSR bukan perusahaan fiktif, melainkan perusahaan yang benar-benar menjalankan usaha perdagangan gula.

Persidangan kemudian menghadirkan Dr. Herry Firmansyah, S.H., M.Hum., seorang ahli hukum pidana, yang menegaskan bahwa kesaksian dalam sidang harus didasarkan pada fakta, bukan sekadar cerita yang didengar dari orang lain.

“Dalam hukum pidana, kesaksian harus memenuhi unsur melihat, mendengar, mengetahui, atau mengalami sendiri kejadian tersebut. Kesaksian yang hanya berdasarkan ‘katanya’ tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah dalam pengadilan,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa suatu kasus hanya dapat dikategorikan sebagai pidana jika terdapat unsur mens rea atau niat jahat sejak awal.
“Jika terdakwa sejak awal memang berniat menipu, maka itu adalah tindak pidana. Namun, jika bisnis memang berjalan dan keuntungan telah diberikan sebelumnya, maka ini lebih tepat disebut wanprestasi dalam hukum perdata,” katanya.

Dr. Herry juga menambahkan bahwa hukum pidana bukan alat untuk menyelesaikan permasalahan bisnis.

“Tidak semua kegagalan bisnis bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Jika ada perjanjian yang tidak terpenuhi, langkah yang benar adalah menggugat secara perdata, bukan mempidanakan salah satu pihak,” tegasnya.

Sementara itu, Prof. Elfrida Ratnawati Gultom, S.H., MHum., MKn., seorang ahli hukum perdata, menjelaskan bahwa kesepakatan bisnis yang dibuat secara sah harus dihormati sebagai perjanjian perdata.

“Jika suatu perjanjian telah disepakati kedua belah pihak, baik secara lisan maupun tertulis, maka jalur hukum yang harus ditempuh adalah jalur perdata, bukan pidana,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dalam hukum perdata, suatu perjanjian dianggap sah jika dibuat tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1323 KUH Perdata.

“Jika dalam suatu perjanjian jelas-jelas ada tanda tangan kedua belah pihak, berarti tidak ada unsur paksaan. Itu artinya, masing-masing pihak telah sepakat dengan ketentuan yang ada, dan jika ada masalah, harus diselesaikan dalam ranah perdata,” jelasnya.

Prof. Elfrida juga menegaskan bahwa perjanjian bisnis yang telah menghasilkan keuntungan sebelumnya tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai penipuan.

“Jika terdakwa masih memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya, maka ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata. Pidana hanya bisa diterapkan jika terbukti ada niat jahat sejak awal, seperti menggunakan identitas palsu atau menjanjikan sesuatu yang tidak pernah ada,” tegasnya.

Setelah mendengar keterangan saksi dan ahli, agar majelis hakim akan mempertimbangkan apakah kasus ini benar-benar memenuhi unsur pidana atau lebih tepat diselesaikan sebagai perkara wanprestasi dalam ranah perdata.

Dalam perkara bisnis, hukum pidana harus menjadi upaya terakhir. Tidak semua permasalahan bisnis bisa dipidanakan, terutama jika ada bukti bahwa bisnis benar-benar berjalan dan kesepakatan telah dibuat secara sah.

Sidang berikutnya dijadwalkan pada minggu depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, yang diharapkan dapat memberikan klarifikasi lebih lanjut mengenai kerja sama dalam jual beli gula.

Berita Lainnya

Back to top button