Sidang Dugaan Penipuan Tanah Senilai Rp 13 Miliar, Isnaely Effendy Catut Nama La Nyala

LintasHukrim-Surabaya, (7/2/2025) – Pengadilan Negeri Surabaya kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan terdakwa Isnaely Effendy. Ia didakwa menipu Ir. Siti Rochani dalam transaksi jual beli tanah di Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Sidang yang berlangsung di Ruang Garuda 2 ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Kimiarsa, SH., MH, dengan agenda pemeriksaan saksi kunci yang memberikan keterangan mengenai aliran dana serta status kepemilikan tanah.
Kasus ini bermula dari laporan Ir. Siti Rochani, warga Surabaya, yang mengklaim mengalami kerugian sebesar Rp 13 miliar setelah melakukan pembayaran untuk lima bidang tanah yang ditawarkan oleh terdakwa. Pembayaran dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 2015 hingga 2020, hingga mencapai total harga yang disepakati.
Namun, berdasarkan keterangan saksi ahli waris pemilik tanah, yakni Akhmat Irwanto, awalnya ia tidak mengetahui siapa pembeli asli tanah milik ayahnya, (alm.) H. Moch Kholil. Ketika ditanyakan kepada terdakwa, Isnaely Effendy menyebutkan bahwa tanah tersebut dibeli oleh La Nyala.
“Terdakwa mengatakan kepada saya bahwa pembelinya adalah La Nyala, dibeli dengan harga Rp 13 miliar, tetapi pembayarannya dilakukan secara cicilan,” ungkap Akhmat Irwanto di persidangan.
Dari total harga yang disepakati, terdakwa baru membayar Rp 6,15 miliar yang pernah diterima oleh (alm.) H. Moch Kholil sebelum meninggal dunia.
Saksi lainnya, Nur Khamidah, yang juga merupakan ahli waris, memberikan kesaksian bahwa terdakwa sempat datang ke rumah mereka untuk menyerahkan pembayaran secara bertahap. Setelah H. Moch Kholil meninggal dunia, terdakwa datang melayat dan berjanji akan melunasi sisa pembayaran dalam rentang waktu 40-100 hari. Namun, janji tersebut tidak pernah dipenuhi.
Beberapa tahun kemudian, ketika pembeli asli muncul dan mengklaim kepemilikan atas tanah tersebut, ahli waris terkejut karena pembayaran belum sepenuhnya dilunasi sesuai kesepakatan awal.
Akhirnya, terjadi kesepakatan bahwa uang yang telah diterima oleh ahli waris sebesar Rp 6,15 miliar akan dikonversi menjadi kepemilikan tanah dengan nilai yang setara.
Dalam persidangan, Setriyini, seorang notaris yang turut memberikan kesaksian, mengungkapkan bahwa transaksi ini tidak dilengkapi dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) karena terdakwa menyatakan bahwa Akta Jual Beli (AJB) hanya akan diterbitkan setelah pembayaran lunas.
Namun, pada tahun 2020, terdakwa menandatangani surat pernyataan bahwa pembayaran telah selesai dilakukan. Dua tahun kemudian, pada tahun 2022, terdakwa datang ke notaris untuk mencabut pernyataan tersebut dengan alasan bahwa hanya Rp 6,15 miliar yang benar-benar diserahkan kepada ahli waris.
“Saat surat pernyataan tahun 2020 dibuat, di hadapan notaris pembeli hadir. Namun, saat pencabutan pernyataan pada 2022, pembeli tidak ada,” ujar Setriyini di hadapan majelis hakim.
Selain itu, saksi Riskianah mengungkapkan bahwa dirinya beberapa kali menyaksikan pembayaran dilakukan di beberapa lokasi, seperti di rumah dan warung makan milik korban. Namun, saksi tidak mengetahui jumlah pasti uang yang diserahkan karena hanya melihat kantong plastik yang disebut berisi uang.
Seorang saksi lainnya, yaitu sopir pribadi terdakwa, membenarkan bahwa Isnaely Effendy sering mengunjungi rumah korban antara 2017 hingga 2020, tetapi ia tidak mengetahui detail transaksi yang terjadi.
Dari keterangan para saksi, muncul inkonsistensi antara klaim terdakwa dan bukti yang ada, terutama terkait jumlah uang yang diterima oleh ahli waris serta status kepemilikan tanah yang ditawarkan.
Atas perbuatannya, Isnaely Effendy didakwa melanggar:
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dan
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Jika terbukti bersalah, terdakwa dapat menghadapi hukuman pidana maksimal empat tahun penjara untuk masing-masing pasal.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan tambahan dan konfrontasi bukti di antara para pihak.
Seusai persidangan, pengacara siti Richani, Turmuzi, memberikan pernyataan terkait kasus ini.
Pembeli tanah itu adalah La Nyala. Terdakwa sudah melakukan penipuan dengan mencatut nama orang lain padahal pembeli tanah tersebut adalah Rochani.
” terdakwa bilang pembeli tanah tersebut adalsh La Nyalla itu sudah melakukan kebohongan, soal siapa pembeli tanah tersebut kepada pemilik tanah, dengan mencatut nama orang lain” ucap turmuzi
Terdakwa sudah Rp 13 miliar, padahal faktanya hanya Rp 6,15 miliar yang telah diberikan kepada pemilik tanah,” ujar Turmuzi.
Ia juga menyoroti dua kejanggalan dalam tindakan terdakwa:
Pada tahun 2020, terdakwa menyatakan bahwa pembayaran Rp 13 miliar telah lunas.
Pada Januari 2022, terdakwa mencabut pernyataan tersebut secara sepihak, mengklaim bahwa ia hanya membayar Rp 6,15 miliar.
Saat ini, sertifikat tanah masih atas nama (alm.) H. Moch Kholil, tetapi sebagian juga sudah atas nama Ir. Siti Rochani, sesuai dengan jumlah yang dibayarkan kepada pembeli.
——————————————–,—————–
CATATAN REDAKSI LINTAS HUKRIM :
Apabila ada pihak pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan / atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan / atau berita berisi hak jawab ,sanggahan ,dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel / berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: lintashukrim@gmail.com.atau nomor WA 0821 2045 0500 ,0821 4001 6298 atas perhatiannya sebelumnya disampaikan terima kasih ( red ).