
SURABAYA,LintasHukrim – Perseteruan panjang soal kepemilikan saham PT Dharma Nyata Press, penerbit Tabloid Nyata, kembali memanas. Sidang lanjutan perkara antara Nany Widjaja sebagai penggugat melawan PT Jawa Pos digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (3/9/2025). Kali ini, panggung sidang Cakra menghadirkan saksi fakta dari pihak tergugat, Andreas Didi, mantan pejabat lama di tubuh Jawa Pos.
Andreas bukan orang baru. Ia pernah menjabat Kepala Seksi Keuangan sekaligus Koordinator Anak Perusahaan Jawa Pos selama hampir tiga dekade, dari 1989 sampai 2016. Di depan majelis hakim, ia membuka cerita soal strategi besar Jawa Pos sejak awal 1990-an: ekspansi horizontal dengan membeli media-media daerah.
“Ekspansi dilakukan dengan mengakuisisi media seperti Pontianak Pos, Manado Pos, Lombok Pos, termasuk Tabloid Nyata melalui PT Dharma Nyata Press. Total ada 32 perusahaan yang diambil alih,” ujar Andreas.
Ia menambahkan, seluruh proses itu berlangsung di bawah arahan Dahlan Iskan selaku Direktur Jawa Pos saat itu, dengan Nany Widjaja menjabat Direktur Bisnis. Bahkan, kata Andreas, dividen dari Dharma Nyata Press disetorkan ke rekening Ratna Dewi yang disebutnya sebagai rekening operasional Jawa Pos.
“Jawa Pos membeli saham Dharma Nyata Press dari Ned Sakdani dan Andjar Any. Legal Jawa Pos yang mengurus jual belinya. Nama pemilik saham ditentukan Pak Dahlan,” tegasnya.
Keterangan itu sontak dipertanyakan kuasa hukum penggugat, Richard Handiwiyanto dan Michael Harianto. Menurut mereka, semua yang disampaikan saksi hanya sebatas cerita tanpa dasar dokumen hukum yang sah.
“Apakah saksi tahu adanya akta jual beli di hadapan notaris antara Nany Widjaja dengan pemilik saham sebelumnya?” cecar Richard. Andreas mengaku tidak tahu.
Penggugat bahkan menunjukkan dokumen dari AHU Kemenkumham yang mencantumkan nama Dahlan Iskan dan Nany Widjaja sebagai pemegang saham resmi Dharma Nyata Press. Nama Jawa Pos sama sekali tak tercatat.
Pernyataan Andreas juga sempat digugat kuasa hukum Dahlan Iskan, Mahendra, yang menyoroti fakta bahwa Andreas baru menjabat Kepala Seksi Keuangan sejak 1995. Namun saksi tetap kukuh. “Sejak awal saya sudah ikut membantu bagian keuangan, termasuk surat penawaran saham,” katanya.
Di luar sidang, kubu penggugat menilai kesaksian itu tidak memperkuat klaim Jawa Pos. “Hanya persepsi saksi. Tidak ada bukti legal formal,” kata Richard.
Sebaliknya, kuasa hukum Jawa Pos, EL Sayogo, menyebut keterangan Andreas justru menguatkan posisi tergugat.
Baginya, alur uang dan dividen yang mengalir ke Jawa Pos menunjukkan kepemilikan substansi ada pada perusahaan.
“Ini soal saham nomine. Secara administratif memang atas nama individu, tapi substansinya milik Jawa Pos. Semua arus uang berasal dari dan kembali ke Jawa Pos,” jelasnya.
Sayogo juga menantang logika penggugat. “Kalau sudah yakin pegang bukti legal, kenapa harus menggugat? Justru itu menunjukkan ada yang disembunyikan. Saksi berikutnya akan membuktikan, termasuk soal arus keuangan yang dikendalikan Pak Dahlan dan Bu Nany,” katanya.
Ia menutup dengan sindiran: sampai sekarang, baru pihak tergugat yang berani membawa saksi fakta. Pihak penggugat belum menghadirkan satu pun.
Majelis hakim akan melanjutkan sidang dengan agenda mendengar saksi fakta berikutnya dari pihak tergugat.





