Hukum & Kriminal

Puguh Prasetyo Dituntut 8 Tahun Penjara atas Percobaan Pembunuhan dan Kepemilikan Senjata Tajam

Surabaya, LintasHukrim (12/3/2025) – Sidang kasus pidana dengan terdakwa Puguh Prasetyo (25) kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Ruang Kartika. Sidang yang terbuka untuk umum ini mengagendakan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Parlin dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Surabaya.

Dalam persidangan, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman 8 tahun penjara atas dugaan percobaan pembunuhan serta kepemilikan senjata tajam tanpa izin.
JPU Parlin menyampaikan bahwa terdakwa dakwaan berdasarkan:

Pasal 338 KUHP juncto Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang percobaan pembunuhan.

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam tanpa izin.

Kasus ini bermula pada 29 September 2024, sekitar pukul 04.10 WIB, di kawasan Asemrowo, Surabaya. Terdakwa diduga menyerang Ali Subir, yang ia curigai melakukan pengintaian di sekitar rumahnya.
Sebelum kejadian, terdakwa telah membawa sebilah celurit dan pisau potong es, yang diselipkan di dalam jaketnya tanpa izin dari pihak berwenang.

Dalam pembacaan tuntutannya, JPU menyatakan bahwa tiga alat bukti utama telah diperoleh, yaitu:
Keterangan saksi, yang melihat kejadian secara langsung.
Barang bukti, berupa celurit dan pisau potong es yang ditemukan pada terdakwa.
Keterangan terdakwa, yang mengakui membawa senjata tajam tersebut.

Hal yang meringankan:
Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
Bersikap kooperatif dalam persidangan. Mengakui perbuatannya secara terus terang. Sudah berdamai dengan korban secara tertulis. Telah membayar Rp 28.000.000,- untuk biaya pengobatan korban.

Hal yang memberatkan:
Perbuatannya menimbulkan keresahan di masyarakat.

JPU Parlin meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

Menyatakan terdakwa Puguh Prasetyo bersalah melakukan percobaan pembunuhan dan kepemilikan senjata tajam tanpa izin.
Menjatuhkan pidana 8 tahun penjara kepada terdakwa.
Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan dari vonis akhir.
Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam Rumah Tahanan Negara.
Merampas barang bukti berupa celurit dan pisau potong es untuk dimusnahkan.
Mewajibkan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,-.

Setelah persidangan, media ini mewawancarai Andrean Gregorius Pandapotan Simamora, S.H., M.H., C.C.D., Managing Partner GSP Law Office.

Ia menyampaikan bahwa seharusnya jaksa lebih detail dalam menguraikan fakta peristiwa hukum, termasuk analisis pasal demi pasal.

“Adanya bukti pembayaran iktikad baik dari keluarga terdakwa sebesar Rp 28.000.000 (terbilang dua puluh delapan juta rupiah) kepada korban seharusnya dapat dipertimbangkan. Jika mekanisme Restorative Justice diterapkan lebih awal, perkara ini mungkin bisa dihentikan pada tahap pra-penuntutan, tetapi sayangnya sudah terlambat,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa jika jaksa menuntut berdasarkan fakta yang tidak didakwakan, maka tuntutan tersebut dapat dianggap tidak sah, karena jaksa harus menuntut berdasarkan apa yang telah didakwakan.

Setelah mendengar tuntutan dari JPU, majelis hakim menjadwalkan sidang berikutnya untuk pembacaan pembelaan terdakwa (pledoi).

Putusan akhir akan ditentukan setelah pembacaan pledoi serta pertimbangan hakim. Sidang ini menarik perhatian masyarakat yang hadir di Ruang Kartika, dan keputusan hakim di persidangan mendatang akan menjadi penentu nasib terdakwa.

Berita Lainnya

Back to top button