Obral Tuntutan dalam Kasus Pupuk Palsu: Pemalsuan Merek dan Peredaran Ilegal Hanya Dituntut 14 Bulan Penjara

Lintas Hukrim ,Surabaya – Sidang perkara pupuk palsu yang menyeret Direktur PT Pupuk Sentra Utama Gresik (PT PSUG), Ismaryono, menyisakan tanda tanya besar atas tuntutan ringan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hajita. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (16/6/2025), JPU hanya menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 2 bulan atau 14 bulan, padahal perbuatan yang dilakukan terdakwa memenuhi unsur pidana berlapis.
Ismaryono dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua tindak pidana sekaligus:
Mengedarkan pupuk dolomit yang tidak terdaftar secara resmi dan tidak memiliki label sesuai ketentuan, serta
Menggunakan merek dagang milik perusahaan lain, yakni merek “DL 100” milik PT Bintang Timur Pasifik (BTP), tanpa izin.
Perbuatan tersebut dijerat dengan:
Pasal 122 jo Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, yang mengancam setiap orang yang mengedarkan sarana produksi pertanian yang tidak terdaftar atau tidak berlabel dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.
Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang mengatur bahwa penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain tanpa izin, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar.
Namun dalam persidangan, JPU hanya menuntut hukuman 14 bulan penjara, tanpa denda atau hukuman tambahan, yang menimbulkan pertanyaan terkait konsistensi penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran perlindungan konsumen, pemalsuan merek, serta keamanan sarana produksi pertanian.
Kasus ini bermula saat Ismaryono mendirikan PT PSUG dan mulai memproduksi pupuk dolomit bermerek DoNETAone. Padahal, merek tersebut belum resmi terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, maupun di Kementerian Pertanian. Lebih jauh, ia juga menggunakan merek DL 100—merek sah milik PT BTP tempat ia dulu bekerja—untuk mengemas sebagian pupuk produksinya.
Setelah menerima pesanan 50 ton pupuk dari seseorang bernama “Pak Ali”, Ismaryono membeli pupuk curah dari CV Gunung Dono Putra, lalu mengemas ulang pupuk tersebut dalam karung-karung bermerek palsu. Pupuk itu kemudian dimuat dalam tiga kontainer dan hendak dikirim ke Kalimantan Barat dari Pelabuhan Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI), Tanjung Perak.
Namun sebelum pengiriman dilakukan, pada 19 Januari 2025, tim dari Polairud Polda Jatim berhasil menggerebek tiga kontainer yang diduga berisi pupuk ilegal. Dari hasil pemeriksaan ditemukan total 75 ton pupuk dolomit bermerek DoNETAone dan DL 100, yang seluruhnya merupakan merek belum sah atau digunakan secara ilegal.
Usai mendengarkan tuntutan JPU, terdakwa Ismaryono mengajukan pledoi secara lisan, meminta keringanan hukuman dengan dalih sebagai tulang punggung keluarga dan mengaku keuntungan dari penjualan pupuk tersebut sangat kecil. “Saya hanya ingin mencukupi kebutuhan rumah tangga,” ucapnya di hadapan majelis hakim.
Namun, argumen ekonomi pribadi tidak menghapus fakta bahwa perbuatannya menimbulkan potensi kerugian besar terhadap sektor pertanian, khususnya menyangkut kualitas hasil tanam, ketertiban dagang, dan perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha sah lainnya.
Tuntutan ringan JPU Hajita yang hanya 14 bulan penjara untuk dua perbuatan pidana yang masing-masing memiliki ancaman maksimal 5 tahun, menimbulkan pertanyaan serius di kalangan publik, terutama karena perkara ini menyangkut keamanan pangan, perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual (HKI), dan kepentingan publik yang lebih luas.
Dengan fakta-fakta hukum yang jelas, banyak pihak mempertanyakan apakah tuntutan ringan ini mencerminkan keadilan substantif, atau justru menandai kecenderungan “obral hukuman” dalam perkara yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dalam menjaga kualitas sektor pertanian nasional.
Penegakan hukum dalam sektor pertanian harus berpijak pada prinsip kehati-hatian dan perlindungan terhadap kepentingan petani serta masyarakat luas. Jika praktik pemalsuan dan peredaran pupuk ilegal hanya berujung pada sanksi ringan, maka kepercayaan terhadap integritas sistem hukum bisa tergerus.