Nyabu Berjamaah, Terdakwa Nur Elisya Kuasai 5 Gram Sabu, Hanya Dituntut 1,5 Tahun

Surabaya, Lintas Hukrim-Terdakwa Nur Elisya bersama tujuh orang rekannya , Muhammad Hola, Aisah, Anang Suroto, Yosep Sandi, Moch. Toyeb, Muhammad Fahri, dan Nurlaili — ditangkap oleh petugas Ditresnarkoba Polda Jawa Timur pada Jumat dini hari, 13 September 2024, sekitar pukul 03.30 WIB. Mereka diamankan di depan Cafe Bunga Reborn yang beralamat di Jalan By Pass Mojokerto, Dusun Jokodayo, Desa Jabon, Kecamatan Mojoanyar, Kota Mojokerto.
Yang mengejutkan, penanganan perkara ini dilakukan secara terpisah menjadi tiga nomor perkara, meskipun seluruh terdakwa ditangkap secara bersamaan, di tempat dan waktu yang sama. Ketiganya bahkan ditangani oleh jaksa yang sama dan dijadwalkan pembacaan putusan serentak pada Senin, 28 April 2025, di ruang sidang Tirta 1, PN Surabaya.
Dalam surat tuntutan, Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa Nur Elisya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atas perbuatannya, terdakwa hanya dituntut 1 tahun 6 bulan penjara, dikurangi masa penahanan yang telah dijalani.
Tuntutan ini memicu sorotan publik, mengingat barang bukti sabu yang dikuasai Nur Elisya mencapai 5 gram — jumlah yang cukup signifikan dan lazimnya dijerat dengan pasal yang lebih berat.
Berbeda halnya dengan terdakwa Muhammad Hola, yang dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidiair 1 tahun kurungan. Ia dijerat dengan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika, karena diduga turut menjual atau menyerahkan narkotika.
Sementara itu, terdakwa Aisah alias Icha dituntut 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsidiair 6 bulan kurungan. Terdakwa lainnya, Anang Suroto dan Moch. Toyeb, masing-masing hanya dituntut 1 tahun 3 bulan penjara.
Lima Pertanyaan Mendasar Muncul:
Mengapa para terdakwa displit menjadi tiga perkara, padahal mereka ditangkap bersamaan dengan bukti dan peran yang saling terkait?
Mengapa pasal yang digunakan berbeda-beda, sementara kronologi kejadian nyaris identik?
Mengapa tuntutan terhadap Nur Elisya, yang menguasai sabu paling banyak, justru paling ringan?
Mengapa satu jaksa menangani ketiga perkara yang displit tersebut?
Mengapa vonis ketiganya dibacakan bersamaan dalam satu ruang sidang?
Penanganan kasus narkotika seharusnya dilakukan secara serius dan profesional. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tindak pidana narkotika menuntut pendekatan hukum yang tegas dan konsisten. Namun, dalam perkara ini muncul dugaan adanya perlakuan khusus terhadap salah satu terdakwa yang justru menguasai barang bukti dalam jumlah tidak sedikit.
Publik menanti transparansi dan akuntabilitas dari aparat penegak hukum. Putusan hakim pada 28 April mendatang akan menjadi penentu: apakah keadilan ditegakkan, atau praktik tebang pilih kembali dipertontonkan.(red)