Kuasa Hukum: Pandega Agung Hanya Korban, Bukan Otak Penipuan Proyek Beton

Surabaya, Lintas Hukrim – (30/4/25)
Pengadilan Negeri Surabaya kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan penipuan proyek fiktif pengangkutan produk beton yang menyebabkan kerugian lebih dari Rp100 miliar bagi PT Bima Sempaja Abadi. Sidang yang terbuka untuk umum ini dilaksanakan di ruang Cakra, dengan Jaksa Penuntut Umum Estik Dilla dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Surabaya.
Empat terdakwa, yaitu Ponidi, Pandega Agung, dan Soen Hermawan, didakwa melakukan penipuan secara bersama-sama melalui skema investasi fiktif dalam proyek pengangkutan tiang pancang beton. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut bahwa proyek tersebut diklaim berasal dari PT Varia Usaha Beton, padahal faktanya tidak pernah ada.
Seorang saksi yang berperan sebagai pencari investor mengungkapkan bahwa dana investasi diserahkan langsung kepada Soen Hermawan, yang disebut sebagai pengelola utama dana. Saksi tersebut mengaku hanya menerima fee dan tidak mengetahui secara rinci skema bisnis yang dijalankan, meskipun beberapa investor sempat mengeluhkan bahwa mereka telah tertipu.
Saksi lainnya, Reistiana, mantan karyawan PT MPI, memberikan keterangan bahwa ia pernah bekerja bersama para terdakwa dan mengetahui alur dana dari para investor yang dikirim kepada Soen Hermawan, yang ia kenal dengan nama aslinya, bukan alias “Slamet Bagio”. Reistiana menjelaskan bahwa dana tersebut dialirkan dari PT Pattaya ke PT MPI, lalu diteruskan ke Soen Hermawan, dan sebagian dikembalikan kepada investor sebagai imbal hasil sebesar 10 persen.
Ia menyebut bahwa skema aliran dana melibatkan sejumlah perusahaan. Awalnya, dana dari pemodal ditransfer ke PT Indolink, kemudian dari Indolink ke PT Arthamas, lalu diteruskan ke Soen Hermawan. Setelah pekerjaan berjalan, keuntungan dari Soen dikirim kembali ke PT Arthamas untuk diteruskan kepada para pemodal.
Setelah PT Indolink tidak lagi bekerja sama, digantikan oleh CV Adil Lokeswara, yang di dalamnya terlibat beberapa pencari investor, seperti Umar Ghani, Sigit, dan Pandega Agung. Saksi Reistiana mengaku membuat Surat Perintah Kerja (SPK) antara PT Arthamas dan invoice untuk pengangkutan tiang pancang ke Nusa Tenggara Timur. Surat muat juga dibuat oleh PT Arthamas dengan mencantumkan nomor polisi truk yang diperoleh dari Soen Hermawan.
Soen Hermawan juga disebut mengaku bergerak di bidang usaha beton dan mengklaim memiliki kerja sama dengan PT Varia Usaha Beton (VUB). Untuk meyakinkan calon korban, ia bahkan membawa perwakilan PT Bima Sempaja Abadi ke pabrik PT VUB di Gresik, dengan menyamar sebagai “Slamet Bagio”, yang diklaim sebagai perwakilan resmi perusahaan tersebut.
Dalam persidangan, turut dihadirkan ahli hukum pidana dari universitas, Dr. Bambang Seheryadi, S.H., M.H., yang menekankan pentingnya membedakan antara wanprestasi dan penipuan. Menurutnya, apabila transaksi telah berlangsung berulang kali dan tidak ditemukan niat jahat sejak awal (mens rea), maka perbuatan tersebut lebih tepat dikualifikasikan sebagai wanprestasi, bukan tindak pidana penipuan.
Perkara ini bermula dari tawaran kerja sama oleh Umar Ghani kepada PT Bima Sempaja Abadi untuk membiayai PT Arthamas yang mengaku mendapat proyek dari PT VUB Gresik. Bersama Ponidi sebagai Komisaris PT Arthamas, Umar Ghani memperkenalkan proyek yang ternyata fiktif kepada Hadian Noervahyo dari PT Bima Sempaja Abadi.
Akibat rangkaian kebohongan tersebut, PT Bima Sempaja Abadi mengucurkan dana investasi sebesar Rp100,7 miliar. Dana tersebut kemudian ditransfer ke sejumlah rekening perusahaan yang diduga dikendalikan oleh para terdakwa, termasuk PT Arthamas dan PT Shan Gandara Satya.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Usai persidangan, tim kuasa hukum terdakwa Pandega Agung dari HK Law Firm, yakni Heru Krisbianto, S.H., M.H., dan Erna Wahyuningsih, memberikan keterangan kepada awak media.
Dalam keterangannya, Heru menegaskan bahwa peran kliennya sangat terbatas, yakni hanya meminjamkan nama perusahaan CV Adil Lokeswara atas permintaan Umar Ghani, sosok yang disebut sebagai aktor utama di balik proyek tersebut. “Kontrak antara CV Adil dan PT Arthamas hanyalah formalitas, tidak pernah dijalankan. Sejak awal sudah ada kesepakatan bahwa CV Adil hanya dipinjam namanya oleh Umar Ghani,” ujar Heru.
Menurut kuasa hukum, Umar Ghani yang membuat draf perjanjian antara CV Adil dan PT Bima Sempaja Abadi, sedangkan Pandega Agung hanya bertugas melaporkan surat muat yang diperoleh dari PT Arthamas kepada PT Bima Sempaja Abadi.
Surat muat sejak awal tidak disyaratkan harus ada tanda tangan sopir dan tanda tangan penerima barang, cukup dengan mencantumkan nomor mobil dan jenis barang. CV Adil juga tidak diminta membuat surat jalan sebagai bukti pengiriman, karena PT Bima Sempaja Abadi sudah dapat menagih ke PT Arthamas hanya dengan surat muat tersebut. Hal ini telah berlangsung selama sekitar delapan bulan.
Ironisnya, meskipun disebut oleh banyak saksi dan memiliki peran sentral, Umar Ghani hingga kini belum pernah diperiksa oleh penyidik maupun dihadirkan dalam persidangan. “Kami sudah berkali-kali memohon agar Umar Ghani dihadirkan karena perannya sangat sentral. Tapi sampai saat ini belum juga diperiksa, dengan alasan teknis seperti ketidaktahuan alamat,” tambah Erna Wahyuningsih.
Ia juga menjelaskan bahwa Pandega sempat ditekan oleh Umar Ghani dan Ponidi untuk menandatangani perjanjian khusus yang tujuannya tidak pernah dijelaskan secara rinci. Semua ini, menurut tim hukum, menunjukkan bahwa Pandega tidak pernah terlibat dalam skema penipuan atau penggelapan, melainkan menjadi korban dari skenario yang dirancang oleh pihak lain.
“Semua bukti sudah kami pegang. Tidak ada yang disembunyikan. Klien kami bukan pelaku, melainkan korban. Kami yakin Majelis Hakim akan melihat fakta ini secara objektif,” tutup Erna.