HeadlineUncategorized

Komisaris & Direksi Boneka Bisa Terjerat Pidana: Variani dan Kelvin dalam Bayang-bayang Hukum Kasus CV BIA

SURABAYA,LintasHukrim –[28/8/25] Persidangan kasus dugaan penipuan Rp6,2 miliar dengan terdakwa Henry Wibowo, pemilik CV Baja Inti Abadi (BIA), kian menyeret bayang-bayang hitam ke dalam lingkaran keluarganya. Bukan lagi sekadar perkara cek kosong, sidang ini perlahan menyingkap modus perusahaan keluarga yang beroperasi dengan cara licik: komisaris dan direktur dipasang hanya sebagai stempel, sementara kendali tetap di tangan pemilik utama.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, majelis hakim berulang kali menyoroti kejanggalan struktur CV BIA. Direksi dan komisaris silih berganti dicatat dalam akta, tetapi kendali penuh tetap dijalankan Henry. Bilyet giro (BG) bernilai miliaran rupiah ditandatangani atas nama perusahaan, namun seluruh keputusan keuangan dan transaksi tetap dikunci oleh terdakwa.

Hakim bahkan menyebut CV BIA sebagai “perusahaan aneh” — sebuah perusahaan keluarga yang memelihara struktur formal, tetapi kosong dari fungsi hukum yang semestinya dijalankan.

Kesaksian Variani, mantan istri Henry sekaligus komisaris periode 2019–2022, menjadi sorotan utama. Di hadapan majelis, ia mengaku jabatannya hanyalah “sekadar formalitas” karena perusahaan dimiliki keluarga.
“Saya tidak tahu apa tugas komisaris. Saya tidak mengurusi perusahaan,” ucap Variani.

Namun, pernyataan itu justru menguatkan dugaan bahwa posisi komisaris di CV BIA hanyalah boneka yang dipasang untuk memenuhi syarat administratif. Jabatan tercatat resmi di akta, tetapi tidak dijalankan dengan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya.

Fakta lain muncul dari kesaksian Isnaeni, mantan direktur, yang mengaku hanya menandatangani dokumen tanpa memahami detail transaksi. Gaji yang diterima bahkan di bawah standar UMR. Sementara Erika, bagian keuangan, disebut-sebut mengetahui alur pengeluaran BG, meski belum bisa hadir karena baru melahirkan.

Pola ini menunjukkan betapa rapuhnya struktur perusahaan: direktur dan komisaris hanya menjalankan tanda tangan, sedangkan keputusan mutlak dipegang pemilik.

Meski Henry duduk sebagai terdakwa utama, lingkaran keluarganya tidak otomatis bisa cuci tangan. Dalam KUHP Pasal 55–56, siapa pun yang turut serta melakukan, membantu, atau membiarkan perbuatan pidana dapat ikut dijerat.

Posisi Variani yang pernah menjabat komisaris jelas menimbulkan pertanyaan: apakah ia benar-benar tidak tahu soal transaksi bermasalah, atau justru membiarkan karena kedekatan keluarga? Jika terbukti mengetahui namun diam, ia bisa dianggap turut serta dalam penipuan dan penggelapan yang dilakukan Henry.

Sementara itu, nama Kelvin, anak Henry, semakin sering disebut. Ia tercatat sebagai komisaris periode 2022–2023, juga masuk dalam akta resmi perusahaan. Hakim pun menegaskan agar Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Kelvin ke persidangan. Bila terbukti ia mengetahui praktik cek kosong namun membiarkan, maka tanggung jawab hukum melekat padanya.

Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sudah jelas:

Pasal 108, Komisaris wajib mengawasi dan memberi nasihat kepada direksi.

Pasal 114 ayat (3), Komisaris yang lalai bisa dimintai tanggung jawab secara tanggung renteng.

Pasal 97, Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan.

Pasal 398 KUHP, Direksi atau komisaris yang dengan sengaja atau lalai hingga menimbulkan kerugian besar dapat dihukum.

Dengan regulasi ini, Variani maupun Kelvin tidak bisa berlindung di balik alasan “tidak tahu.” Nama mereka tercatat resmi dalam struktur perusahaan. Itu berarti, tanggung jawab melekat, baik perdata maupun pidana.

Sidang berikutnya dipastikan akan memanggil Kelvin. Hakim sudah mewanti-wanti, bila ia mangkir, panggilan paksa bisa dijatuhkan. Keterangan sang anak dinilai krusial untuk membuka simpul terbesar kasus ini: mengapa perusahaan dengan omzet miliaran bisa gagal membayar tunggakan Rp6,2 miliar?

Apakah benar semua hanya ulah Henry semata, ataukah ada keterlibatan dan pembiaran dari komisaris serta direktur boneka di sekitarnya?

Jawaban itu akan menentukan apakah kasus CV BIA berakhir sebagai tragedi seorang pemilik tunggal, atau justru menjadi jerat pidana kolektif bagi sebuah keluarga yang membangun perusahaan di atas modus licik.

Berita Lainnya

Back to top button