Jual Ginjal ke India, Dua Pasutri Asal Sidoarjo disidangkan

Lintas Hukrim, Sidoarjo –
Pasangan suami istri asal Desa Pekarungan, Sukodono, Sidoarjo, Ayu Wardhani Sechathur (29) dan Achmad Farid Hamsyah (32), diadili di Pengadilan Negeri Sidoarjo atas dugaan keterlibatan dalam jaringan perdagangan ginjal internasional. Mereka didakwa melanggar tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan percobaan transplantasi organ ilegal ke India.
Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi digelar Selasa (4/6/2025), dipimpin Hakim Ketua D. Herjuna Wisnu Gautama dengan Jaksa Penuntut Umum Wahid dari Kejari Sidoarjo. Dalam dakwaan JPU, disebutkan bahwa terdakwa AWS dan AFH bekerja sama dengan perantara donor bernama MB (berkas terpisah) untuk memberangkatkan lima orang calon pendonor ke India, namun upaya itu digagalkan petugas Imigrasi Juanda pada 9 November 2024.
Fakta persidangan mengungkap bahwa Achmad Farid sebelumnya pernah mendonorkan ginjal ke India pada 2023 dengan imbalan Rp185 juta, lalu aktif mencari pendonor baru melalui grup Facebook “Kumpulan Pasien Hemodialisis”. Pada Agustus 2024, Baharudin menawarkan istrinya menjadi pendonor, dan kemudian terhubung dengan Siti Nurul Haliza alias Nunu, warga Makassar, yang mencari donor untuk ibunya.
Disepakati bahwa biaya transplantasi senilai Rp650 juta akan dibayarkan bertahap. Namun, saat rombongan hendak berangkat ke India, rencana itu digagalkan aparat. Dalam sidang, Nunu bersaksi bahwa kesepakatan biaya hanya dibuat antara dirinya dengan Rina (salah satu pendonor), bukan dengan terdakwa. Namun, pernyataan Nunu berbeda dengan BAP tertanggal 8 Januari 2025 yang menyebutkan adanya kesepakatan dengan AFH mengenai akomodasi dan fee senilai Rp650 juta, serta uang kompensasi Rp600 juta untuk MBA dan RAHM jika transplantasi berhasil.
Hakim langsung menegur keras Nunu karena diduga memberikan keterangan palsu, berbeda dengan BAP yang telah ia tanda tangani. Hakim mempersilakan pihak berwenang mempertimbangkan tindakan hukum atas dugaan sumpah palsu tersebut.
Kuasa hukum terdakwa, Eddy Waluyo, S.H., menyatakan dakwaan JPU kabur dan tidak proporsional. Ia menekankan bahwa tindak pidana TPPO tidak mungkin berjalan tanpa adanya penyandang dana, yang dalam hal ini adalah Siti Nurul Haliza dan kakaknya, Moch. Noer Alim Qalby, S.H., LL.M., yang justru hanya berstatus saksi.
“Tanpa pembiaya, perdagangan ginjal lintas negara tidak mungkin bisa terjadi. Ini kejahatan berjejaring. Jika pembiaya tidak ditindak, maka keadilan menjadi pincang,” tegas Eddy.
Pihaknya berencana menghadirkan ahli pidana untuk menegaskan bahwa penyandang dana memiliki pertanggungjawaban hukum sebagai pelaku atau turut serta (Pasal 55 KUHP), bukan sekadar saksi.
Dalam perkara ini, para terdakwa didakwa secara primer melanggar Pasal 4 jo. Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, dan secara subsidier dijerat Pasal 432 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP.
Eddy menutup dengan penegasan:
“Kami tidak ingin klien kami divonis atas dasar dakwaan yang tidak solid. Para pelaksana lapangan tidak boleh dikorbankan, sementara aktor intelektual dan pembiaya justru lolos dari jeratan hukum.”