Hukum

Jaringan Narkotika Bangkalan–Surabaya, Jaksa Tuntut 8 Tahun Terdakwa Selamet Riyadi

SURABAYA ,LintasHukrim– Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menggelar sidang perkara peredaran gelap narkotika dengan terdakwa Selamet Riyadi bin H. Mattiljas, Senin (3/11/2025). Sidang yang beragendakan pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) YUSTUS ONE SIMUS PARLINDUNGAN, S.H.

Dalam berkas tuntutan yang dibacakan di ruang sidang, JPU menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan permufakatan jahat menjual serta menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I jenis sabu, sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

JPU menguraikan bahwa terdakwa dua kali menjual sabu kepada saksi Muhammad Dikki bin Mulyadi, masing-masing seberat 5 gram dengan total transaksi Rp8 juta. Transaksi dilakukan di Bangkalan, Madura, dan sebagian pembayaran dilakukan melalui transfer rekening atas nama Siti Rodiyah Assaadah.

Dari hasil penyelidikan, polisi menyita 30 kantong plastik berisi sabu seberat 7,253 gram dari tangan Muhammad Dikki, yang diakui berasal dari terdakwa. Berdasarkan hasil uji Laboratorium Forensik Polda Jatim, seluruh barang bukti positif mengandung metamfetamina, zat aktif narkotika golongan I.

Dalam pertimbangannya, jaksa menilai tindakan terdakwa telah merusak moral generasi muda dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan narkoba. “Perbuatan terdakwa tergolong berat karena dilakukan secara sadar dan berulang serta melibatkan jaringan lintas daerah,” ujar jaksa.

Atas dasar itu, JPU menuntut pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp1 miliar subsidiair 6 bulan kurungan, dengan perintah agar masa penahanan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Namun, seusai persidangan, kuasa hukum terdakwa, Asfiantono, S.H., dan Muhammad Choirul Anam, S.H. dari kantor hukum Cakrak Law, menilai tuntutan jaksa tersebut tidak mencerminkan fakta hukum yang sesungguhnya.

Menurut mereka, Selamet Riyadi bukan bagian dari jaringan pengedar narkoba, melainkan seorang pecandu yang membutuhkan rehabilitasi. “Terdakwa justru mengakui sejak awal bahwa dirinya adalah pemakai dan pecandu. Kepemilikan sabu itu semata-mata untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diedarkan,” tegas Asfiantono.

Dari hasil pemeriksaan penyidik, lanjutnya, tidak ditemukan bukti transaksi jual beli atau komunikasi pemesanan dengan jaringan lain, dan barang bukti yang disita pun hanya untuk pemakaian pribadi. “Sejak awal penyidikan hingga persidangan, klien kami konsisten mengaku membeli sabu karena ketergantungan akibat penggunaan sebelumnya. Ini harus dilihat dalam konteks penyalahgunaan, bukan perdagangan,” tambah Muhammad Choirul Anam.

Tim pembela juga mengutip Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menegaskan:

“Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Atas dasar itu, mereka menilai penerapan Pasal 114 jo Pasal 132 oleh jaksa adalah keliru, sebab tidak sesuai dengan prinsip diferensiasi antara pecandu dan pengedar sebagaimana diatur dalam undang-undang.

“Negara seharusnya memulihkan pecandu, bukan memenjarakannya. Klien kami membutuhkan perawatan medis dan rehabilitasi, bukan hukuman berat yang justru memperburuk kondisinya,” pungkas Asfiantono.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari pihak terdakwa.(rief)

 

Berita Lainnya

Back to top button