Hukum & Kriminal

Residivis Mohammad Hasan Akbar Divonis Hanya 2 Tahun 10 Bulan dalam perkara penggelapan

Surabaya, LintasHukrim – Pengadilan Negeri Surabaya kembali mengadili Mohammad Hasan Akbar bin Mohammad Sarip, seorang mantan sales PT. Pranidhana Samartha Amudra yang sebelumnya telah divonis dalam kasus penggelapan.

Dalam sidang yang digelar pada Rabo (12/3/2025), majelis hakim menjatuhkan vonis 2 tahun 10 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa Penuntut Umum (JPU) Suparlan dengan  3 tahun penjara.

Putusan ini menimbulkan sorotan, mengingat terdakwa merupakan seorang residivis yang sebelumnya telah menjalani hukuman 2 tahun penjara atas kasus serupa. Dengan statusnya sebagai pengulang tindak pidana, seharusnya ada pemberatan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 486 KUHP.

Kasus ini bermula ketika Mohammad Hasan Akbar bekerja sebagai sales di PT. Pranidhana Samartha Amudra, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distribusi barang. Dalam pekerjaannya, terdakwa bertugas menawarkan produk dan menerima pembayaran dari pelanggan.
Namun, terdakwa justru menyalahgunakan kepercayaan perusahaan dengan cara:

Menerima pembayaran dari pelanggan secara langsung tanpa menyetorkan ke perusahaan.

Memalsukan dokumen transaksi dan surat jalan resmi.

Mengalihkan uang hasil transaksi ke rekening pribadinya dan pihak lain.

Akibat perbuatannya, PT. Pranidhana Samartha Amudra mengalami kerugian sebesar Rp 326.722.909. Setelah dilakukan audit internal, pihak perusahaan menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan yang mengarah kepada terdakwa. Perusahaan kemudian melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, yang berujung pada penangkapan dan proses hukum di Pengadilan Negeri Surabaya.

Dalam kasus ini, Mohammad Hasan Akbar dijerat dengan dua pasal utama
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai barang itu karena jabatannya atau pekerjaannya atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda.”

Terdakwa memiliki akses ke barang atau uang karena pekerjaannya sebagai sales.

Terdakwa menyalahgunakan kewenangannya untuk menggelapkan uang perusahaan.

Kerugian perusahaan mencapai ratusan juta rupiah akibat perbuatan terdakwa.

Karena terdakwa memanfaatkan posisinya dalam perusahaan untuk melakukan penggelapan, maka ia dijerat dengan Pasal 374 KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara.

“Barang siapa melakukan kejahatan setelah sebelumnya dihukum karena kejahatan yang sama atau sejenis, dapat dikenakan pemberatan hukuman.”

Terdakwa sudah pernah dihukum atas kasus penggelapan sebelumnya.

Setelah menjalani hukuman, terdakwa kembali melakukan kejahatan yang sama.

Seharusnya hukuman yang diberikan lebih berat dari hukuman sebelumnya.

Dalam sistem hukum pidana, residivis seharusnya mendapat hukuman yang lebih berat dibandingkan hukuman pertama. Namun, dalam kasus ini, terdakwa justru mendapatkan vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menimbulkan kritik dari berbagai pihak.

Seusai persidangan, Jeny Aqualina, S.H., selaku konsultan hukum dari PT. Pranidhana Samartha Amudra, mengungkapkan kekecewaannya terhadap tuntutan dan putusan hakim.

“Seharusnya ada hukuman yang lebih berat, mengingat terdakwa sudah dua kali melakukan kejahatan yang sama. Ini bukan lagi kelalaian, tetapi sudah menjadi pola kejahatan yang terus dilakukan. Jika hanya divonis ringan, terdakwa bisa saja mengulangi perbuatannya lagi,” tegas Jeny.

Jeny menyoroti bahwa tuntutan jaksa hanya 3 tahun penjara, lebih ringan dibandingkan kasus penggelapan lain yang sering dituntut maksimal 5 tahun. Selain itu, dengan statusnya sebagai residivis, terdakwa seharusnya mendapat hukuman yang lebih berat sesuai dengan Pasal 486 KUHP, tetapi faktanya vonis justru lebih ringan dibandingkan hukuman pertama yang diterima terdakwa.

“Residivis adalah indikasi bahwa hukuman sebelumnya tidak cukup untuk membuat pelaku jera. Jika hakim tetap memberikan vonis ringan, ini membuka celah bagi pelaku untuk terus menjadikan kejahatan sebagai sumber penghasilan,” tambahnya.

Jeny juga menegaskan bahwa penggelapan dalam jabatan adalah kejahatan serius yang bisa merusak kepercayaan dalam dunia usaha. Jika hukuman bagi pelaku tidak cukup berat, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi perusahaan lain yang mengalami kasus serupa.

Berita Lainnya

Back to top button