Hukum & Kriminal

Masih ingat Pengedar Narkoba  yang Dituntut 5 tahun ternyata residivis ! 

Surabaya, LintasHukrim – Kasus peredaran narkotika kembali menyita perhatian setelah terdakwa Ridwan bin Yeyenkhairuddin hanya dituntut 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suparlan Hadiyanto dari Kejaksaan Negeri Surabaya. Sidang pembacaan tuntutan berlangsung di Ruang Cakra, Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (5/2/2025).

Dalam dakwaan, Ridwan terbukti memiliki dan menyimpan narkotika jenis sabu sebanyak ±5 gram yang dibelinya dari seseorang bernama Bandi (DPO). Di kamar kosnya di Jl. Dukuh Kupang Timur, Surabaya, ia membagi sabu tersebut menjadi 32 poket kecil, di mana 20 poket sudah terjual sebelum ia ditangkap.

Namun, dalam tuntutannya, jaksa tidak menjerat Ridwan dengan Pasal 114 UU Narkotika yang mengatur peredaran narkotika, melainkan hanya Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mengatur kepemilikan narkotika tanpa hak. terutama Ridwan adalah seorang residivis.

Saat di konfirmasi media ini, jaksa Suparlan beralasan bahwa unsur peredaran tidak bisa dibuktikan karena tidak ada saksi pembeli.

“Yang terbukti Pasal 112-nya, Mas. Pembelinya tidak ada,” ujar JPU Suparlan Hadiyanto, saat dikonfirmasi, Kamis (6/2/2025).

Jaksa Penuntut Umum Suparlan Hadiyanto dari Kejari Surabaya, Ketika dikonfirmasi dikantornya perihal status Ridwan adalah Residivis Ia pun mengakui namun mengklaim tidak tahu jika Ridwan pernah dipidana.

“”Saya tidak tahu kalau dia (Terdakwa) seorang residivis, saat penangkapan tidak ada pembelinya,” tandasnya singkat, Kamis kemarin (6/2/2025).(kutipbyjejaringpos)

Dari tangan terdakwa, polisi menyita barang bukti berupa:

12 kantong plastik berisi sabu seberat total 1,047 gram,

Satu kartu ATM BCA,

Satu sekop plastik,

Satu unit HP Vivo yang diduga digunakan untuk transaksi narkoba.

Barang bukti ini seharusnya dapat memperkuat dugaan peredaran narkotika, terutama karena terdakwa mengakui telah menjual 20 poket sabu sebelum ditangkap.

perbedaan penerapan Pasal 112 dan Pasal 114 sangat mempengaruhi beratnya hukuman bagi terdakwa.

Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.

Jika berat narkotika melebihi 5 gram, maka ancaman pidana lebih berat, yakni penjara minimal 5 tahun hingga maksimal 20 tahun atau seumur hidup.

Dalam kasus Ridwan, karena berat barang bukti di bawah 5 gram, jaksa menerapkan Pasal 112 ayat (1) dengan tuntutan 5 tahun penjara, yang masih dalam batas minimum pidana pasal tersebut.

Jaksa menilai bahwa tidak ada saksi pembeli, sehingga unsur peredaran narkotika dalam Pasal 114 sulit dibuktikan.

Barang bukti sabu yang tersisa saat penangkapan hanya 1,047 gram, meskipun terdakwa mengaku telah menjual sebagian.

Namun, keputusan ini menuai kejanggalan karena tidak mempertimbangkan fakta bahwa terdakwa sudah mengedarkan 20 poket sabu.

Pasal 114 ayat (1) berbunyi:Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

Jika berat narkotika yang diperjualbelikan lebih dari 5 gram, maka hukuman dapat meningkat menjadi minimal 6 tahun hingga hukuman mati.

Terdakwa mengakui telah menjual 20 paket sabu, yang seharusnya cukup untuk membuktikan unsur “menjual atau menyerahkan narkotika”.

Barang bukti HP dan kartu ATM bisa ditelusuri lebih lanjut untuk menemukan bukti transaksi, tetapi tampaknya hal ini belum dilakukan secara maksimal dalam penyelidikan.

Jika Pasal 114 diterapkan, maka ancaman hukuman minimal 5 tahun hingga 20 tahun penjara serta denda minimal Rp 1 miliar harus dikenakan kepada Ridwan.

Selain penerapan pasal yang lebih ringan, hal lain yang menjadi sorotan adalah tidak digunakannya status residivis sebagai faktor pemberat.

Dalam hukum pidana, Pasal 59 KUHP mengatur bahwa:

Jika seseorang melakukan tindak pidana yang sama dalam masa tertentu setelah menjalani hukuman sebelumnya, maka pidana yang dijatuhkan dapat diperberat hingga sepertiga dari pidana maksimum yang diancamkan.

Artinya, karena Ridwan adalah residivis kasus narkotika, hukuman yang dijatuhkan seharusnya bisa lebih berat dari tuntutan 5 tahun penjara.

Namun, jaksa mengaku tidak mengetahui status residivis terdakwa, yang menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pemantauan rekam jejak kriminal pelaku narkotika.

Pasal 114 tidak diterapkan, meskipun ada indikasi peredaran narkotika.

Jaksa hanya menuntut 5 tahun, padahal ancaman maksimal Pasal 112 adalah 12 tahun.

Status residivis terdakwa diabaikan, sehingga hukuman tidak diperberat sesuai Pasal 59 KUHP.

penerapan pasal dalam kasus ini tidak maksimal dalam memberikan efek jera, terutama bagi seorang residivis narkotika.

Kasus ini menjadi peringatan penting bagi penegak hukum untuk lebih cermat dalam menerapkan pasal dan memastikan bahwa residivis mendapatkan hukuman yang sesuai guna mencegah pengulangan kejahatan yang sama.

(JuanArief )

 

————————————————————–

CATATAN REDAKSI LINTAS HUKRIM :

Apabila ada pihak pihak yang merasa dirugikan dan /atau keberatan dengan penayangan artikel dan / atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan / atau berita berisi hak jawab ,sanggahan ,dan /atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel / berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: lintashukrim@gmail.com.atau nomor WA 0821 2045 0500 ,0821 4001 6298 atas perhatiannya sebelumnya disampaikan terima kasih ( red ).

Berita Lainnya

Back to top button